Follow us on:

Pages

Iman Bertambah Dan Berkurang



Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
 إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya bagai ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh, ia khawatir tertimpa. Sedangkan orang fajir (ahli maksiat), melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya” (HR. Bukhari 6308)
Definisi Iman
Iman secara bahasa artinya membenarkan. Namun dalam istilah syar’i, para ulama mendefinisikan iman dengan ‘keyakinan dengan hati disertai ucapan lisan dan amal anggota badan’. Imam Asy Syafi’i memberikan argumen yang sangat brilian tentang definisi iman tersebut, beliau berkata:
الإيمان قول وعمل واعتقاد بالقلب، ألا ترى قول الله عز وجل: {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}، يعني صلاتكم إلى بيت المقدس فسمى الصلاة إيماناً وهي قول وعمل وعقد
“Iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan hati. Bukankah anda melihat firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman (shalat) kalian‘ ayat ini bicara tentang shalat kalian yang menghadap Baitul Maqdis. Dalam ayat ini shalat disebut sebagai iman, sedangkan shalat itu mencakup perkataan, perbuatan dan keyakinan” (I’tiqad A’imatus Salaf, 1/44).
Terkadang para ulama juga mengatakan secara ringkas bahwa ‘iman itu ucapan dan perbuatan’, tanpa menyebut keyakinan. Karena keyakinan itu sudah tercakup dalam setiap perkataan dan perbuatan. Al Hafidz Al Hakami berkata: “bahwa iman itu adalah qaulun (ucapan) maksudnya ucapan hati dan ucapan lisan, dan iman itu ‘amalun (perbuatan) maksudnya perbuatan hati, perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan” (Ma’arijul Qabul, 2/588).
Lalu untuk memahami definisi iman ini, mari kita terapkan pada contoh yang lebih memahamkan. Jika seseorang berkata ‘saya iman kepada Allah‘ ini artinya ‘saya mengikrarkan bahwa saya meyakini apa-apa yang wajib diyakini tentang Allah, saya akan mengucapkan apa-apa yang wajib diucapkan tentang Allah dan saya akan lakukan setiap perbuatan merupakan konsekuensi keyakinan saya terhadap Allah’.
Dari definisi ini jelas bahwa iman itu tidak cukup hanya meyakini. Sehingga tidak mungkin orang yang tidak bersyahadat itu diklaim sebagai orang beriman. Juga tidak cukup hanya meyakini dan mengakui secara lisan. Sehingga tidak disebut beriman orang yang hanya mengaku iman atau mengaku Islam dengan lisannya, namun perbuatannya bertentangan dengan pengakuannya. Karena iman itu keyakinan hati perkataan, dan perbuatan.
Iman Itu Bertambah Dan Berkurang
Para ulama ahlussunnah wal jama’ah menetapkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Tidak sebagaimana yang dikatakan sebagian kelompok menyimpang bahwa iman itu tetap, tidak naik dan tidak turun. Perhatikan apa yang ditulis oleh Imam Al Bukhari ketika memulai salah satu bab di Shahih Al Bukhari (1/10):
كِتَابُ الإِيمَانِ بَابُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ» وَهُوَ قَوْلٌ وَفِعْلٌ، وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ} [الفتح: 4] {وَزِدْنَاهُمْ هُدًى} [الكهف: 13] {وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى} [مريم: 76] {وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ} [محمد: 17] وَقَوْلُهُ: {وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا} [المدثر: 31] وَقَوْلُهُ: {أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا} [التوبة: 124]
“Bab Iman, bahasan tentang hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ‘Islam dibangun atas lima hal‘, ia (iman) itu (mencakup) perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: ‘supaya keimanan mereka bertambahdi samping keimanan mereka (yang telah ada)‘ (QS. Al Fath: 4), ‘Kami tambahkan kepada mereka (ashabul kahfi) petunjuk‘ (QS. Al Kahfi: 13), ‘Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk‘ (QS. Maryam: 76), ‘Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya‘ (QS. Muhammad: 17), ‘dan supaya orang yang beriman bertambah imannya‘ (QS. Al Mudatsir: 31), dan firman Allah Ta’ala: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” ‘Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya‘ (QS. At Taubah: 124)…”
Imam Ahmad bin Hambal juga berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang, sebagaimana dalam hadits
أكمل المؤمنين إيماناً أحسنهم خلقاً
Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya‘ ”(I’tiqad A’imatus Salaf, 1/74).
Imam At Tirmidzi juga memulai salah satu bab dalam Sunan At Tirmidzi (5/9) dengan perkataan:
بَابُ مَا جَاءَ فِي اسْتِكْمَالِ الإِيمَانِ وَزِيَادَتِهِ وَنُقْصَانِهِ
“Bahasan hadits-hadits yang berbicara mengenai iman, bertambahnya dan berkurangnya
Imam Asy Syafi’i berkata: “Iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang” (I’tiqad A’imatus Salaf, 1/44).
Abu Hatim Ar Razi dan Abu Zur’ah berkata: “Yang kami ketahui, para ulama dari berbagai daerah di Hijaz, Irak, Syam, Yaman, yang menjadi keyakinan mereka adalah bahwa: iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang…” (Ma’arijul Qabul, 1/277)
Bahkan Al Hafidz Al Hakami berkata: “Jika demikian, para imam-imam yang diakui keilmuannya ber-ijma bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang…” (Ma’arijul Qabul, 3/1007)
Sebab-Sebab Bertambahnya dan Berkurangnya Iman
Secara umum, para ulama berkata ‘iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat‘. Berikut ini kami paparkan secara ringkas poin-poin yang lebih rinci mengenai sebab-sebab bertambahnya dan berkurangnya iman yang disarikan dari kitab Asbabu Ziyadatil Iman Wa Nuqshanihi tulisan Syaikh DR. Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad.
Sebab-sebab bertambahnya iman:
  1. Mempelajari ilmu agama, ditempuh dengan cara:
    1. Membaca Al Qur’an dan men-tadabburi-nya
    2. Mempelajari asma dan sifat Allah
    3. Mempelajari dan merenungi sirah nabawiyah
    4. Merenungi indahnya agama Islam
    5. Membaca biografi para salaf
  2. Merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah
  3. Memperbanyak amalan-amalan shalih
Sebab-sebab berkurangnya iman:
Sebab-sebab internal:
  1. Kebodohan terhadap ilmu agama
  2. Kelalaian
  3. Maksiat
  4. Nafsu yang mengajak pada kejelekan
Sebab-sebab eksternal:
  1. Godaan setan
  2. Fitnah dunia
  3. Ajakan dari para tokoh kejelekan
Faidah Mengetahui Iman Bertambah Dan Berkurang
Dengan mengetahui hal ini, seseorang hendaknya senantiasa berusaha menjaga kondisi imannya dan berusaha agar imannya senantiasa bertambah dengan mengambil sebab-sebab yang bisa menambah imannya. Inilah yang disebut dengan istiqamah. Sebagaimana hadits dari Abu ‘Amr bin Abdillah:
قلت : يا رسول الله قل لي في الإسلام قولاً لا أسأل عنه أحداً غيرك , قال : قل آمنت بالله ثم استقم
Aku berkata, wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan yang tidak akan aku tanyakan kepada orang lain selain dirimu. Nabi bersabda: ‘Katakanlah: ‘aku beriman kepada Allah’, lalu istiqamahlah’” (HR. Muslim 38, Ahmad 15416)
Termasuk istiqamah juga, senantiasa merasa khawatir imannya berkurang dan tidak sempurna. Sehingga dengan kekhawatiran itu seseorang akan takut melakukan maksiat dan dosa sekecil apapun. Oleh karena itu Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya bagai ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh, ia khawatir tertimpa. Sedangkan orang fajir (ahli maksiat), melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya” (HR. Bukhari 6308)
Dengan mengetahui ini pula, kita bisa memahami bahwa keadaan manusia itu bervariasi dan berubah-ubah. Manusia tempatnya salah dan lupa. Berada dalam kondisi iman yang selalu prima dan tidak pernah berkurang adalah hal yang tidak mungkin. Ketika Hanzhalah menyangka dirinya telah munafik karena imannya naik-turun, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً» ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Andai kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian di sisiku ketika mengingat Allah, sungguh para Malaikat akan menyalami kalian di ranjang kalian dan di jalan-jalan. Namun wahai Hanzhalah, kadang begini dan kadang begitu (diucapkan 3x)” (HR. Muslim 2750)
Sehingga naik-turunnya kondisi seorang manusia itu adalah sunnatullah, sehingga kita tidak mudah memvonis orang lain munafik dan menjadi peluang bagi manusia untuk saling-menasehati ketika kondisi iman sedang turun.
Setelah mengetahui bahwa iman itu naik-turun, maka jelaslah keyakinan sebagian orang bahwa maksiat dan perbuatan dosa sebesar apapun tidak akan mempengaruhi iman, adalah keyakinan yang salah. Sebagaimana keyakinannya kaum murji’ah serta orang-orang yang terpengaruh olehnya. Sehingga tidaklah heran jika di masyarakat kita ada sebagian orang yang enggan shalat, tidak membayar zakat, tidak puasa Ramadhan, melanggar larangan-larangan agama, lalu dengan entengnya ia berkata ‘yang penting saya iman kepada Allah‘.
Dengan mengetahui hal ini juga kita bisa tahu akan batilnya keyakinan sebagian orang bahwa orang yang melakukan maksiat itu menggugurkan iman seketika sehingga menjadi kafir. Sebagaimana keyakinannya kaum mu’tazilah serta orang-orang yang terpengaruh olehnyaSehingga tidaklah heran jika di masyarakat kita ada sebagian orang yang mudah mengkafirkan orang lain lantaran orang tersebut melakukan maksiat.
Oleh karena ini, keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang adalah hal yang penting dan merupakan bagian dari pokok aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang pertengahan, tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri. [Yulian Purnama]